Guruku dan Bangsaku

Berbicara tentang guru berarti berbicara tentang profesi mulia yang akan menentukan kemana bangsa ini kan menuju. Namun pembicaraan tersebut terasa kian pahit ketika citra guru saat ini tidak seperti masa kolonial dulu dimana guru adalah profesi yang diidam-idamkan. Soedarminto (1998) mengilustrasikan seorang ibu guru menerima gaji 40 gulden, padahal seorang inlander hanya perlu segobang (2,5 sen) untuk hidupnya. Tak heran jika sekolah keguruan menjadi incaran lulusan sekolah terbaik. Di samping fasilitas dan kemudahan yang diperoleh, status guru akan membawanya menuju strata atas dalam kelas masyarakat. Tidak sedikit guru yang kemudian sampai di puncak sebagai pimpinan masyarakat. Para founding fathers negeri ini pun sebagian besar adalah guru atau setidaknya mengawali kariernya sebagai guru. Sukarno, Presiden pertama RI, pernah menjadi guru semasa pengasingannya di Bengkulan (sekarang Bengkulu). Begitu pula dengan Mohammad Natsir, Perdana Menteri Indonesia pada masa peralihan, adalah guru dan perintis berdirinya sebuah sekolah di Bandung. Soedirman dan A.H. Nasution adalah jenderal-jenderal yang pernah pula menjadi guru. Soedirman adalah guru dan kepala salah satu HIS di Cilacap, sedangkan A.H. Nasution pernah menjadi guru di Bengkulu dan kepala sekolah di Muara Dua, Palembang Hulu. Tidak dapat disangkal pula di antara tokoh-tokoh itu masih ada RM Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara dan KH Ahmad Dahlan, seorang guru yang kiai.

Ironis pula, jika di masa lalu seorang guru bisa berpenghasilan 40 gulden sebulan, sementara sekarang guru yang mengharap kenaikan gaji atau tunjangan harus berdemo rame-rame ke gedung DPR, mogok mengajar, atau lebih parah lagi harus ngojek atau jadi tukang batu di sela-sela waktu luangnya. Sebuah surat kabar beberapa waktu lalu bahkan secara jelas memberitakan 70 persen pendidik swasta bergaji di bawah UMR. Wajar jika kemudian tak ada satu pun dari sekian anak muda yang saya hadapi di kelas itu secara tegas mengatakan atau setidaknya berniat menjadi guru. Hampir sebagian besar siswa justru secara eksplisit menulis ketidakinginannya. Padahal jika ditilik secara mendalam guru memegang peranan dalam mutu pendidikan suatu bangsa. Tahun 2002 lalu, survey PBB mengatakan dari 180 negara, Indonesia berada pada posisi 102 dan guru-lah yang menjadi kambing hitam aib tersebut. Berbagai dakwaan muncul: guru tidak professional, guru tidak bertanggung jawab penuh ketika mengajar tetapi justru menyambi objekan sana-sini. Di satu sisi, guru yang serba sulit berusaha untuk mempertahankan hidupnya agar dapurnya tetap “ngebul” juga berteriak bahwa kurikulum yang dibebankan kepadanya terlau berat namun tidak diimbangi dengan “upah” yang sebanding. Kurikulum yang dirasakan berat, tidak hanya berakibat pada guru namun juga berimbas buruk pada siswa dimana bagi siswa yang kaya mereka akan lebih mudah untuk mencari alternative-alternatif pendidikan lainnya seperti bimbingan belajar yang tumbuh subur di tengah kerontangnya pendidikan Indonesia. Lalu bagaimana dengan mereka yang kurang beruntung? Penelitian para ahli menyebutkan kurikulum saat ini hanya bisa diserap tidak lebih dari 10 persen siswa di seluruh Indonesia. Makin mengenaskan bukan? Bagaimana pula ketika kekerasan, pergaulan bebas dan narkotika menjadi pilihan “mengekspresikan diri” sebagian siswa? Lagi-lagi guru yang akan menerima jawabannya berupa tuduhan bahwa guru belum bisa menjalankan fungsinya sebagai pendidik budi pekerti dan intelektualitas siswa.

Direktur Pembina Tenaga Kependidikan dan Keterampilan Perguruan Tinggi Depdiknas menyebutkan bahwa kebanyakan guru Indonesia merasa sudah cukup puas dengan mengajar di kelas dan tidak berusaha meningkatkan kemampuannya. Dari sini dapat kita lihat permasalahannya yaitu bagaimana guru dapat mencapai kemampuan optimalnya jika hidup mereka harus dibagi dengan pemenuhan tuntutan profesinya dan tuntutan akan “perut”nya? Sesungguhnya yang diperlukan guru saat ini adalah pemberian kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas, serta peningkatan kesejahteraan sampai pada taraf di mana guru tidak perlu lagi membagi konsentrasi dan energinya ke hal-hal lain selain pada fungsi “mendidik”-nya. Semoga tulisan ini dapat menggugah kita, khususnya para pemuda sebagai agen perubahan bangsa untuk selalu memperhatikan kualitas pendidikan di Indonesia dan tidak memandang profesi guru sebagai profesi yang tidak menjanjikan. Yakinlah tanpa mereka kita tidak akan tahu bagaimana cara menulis, membaca dan menghitung padahal ketiga hal tersebut adalah komponen utama yang paling berjasa terhadap perkembangan peradaban umat manusia.

One Response to “Guruku dan Bangsaku”

  1. Pecinta pemudacupu Says:

    So, keliatannya pemudacupu pengen jadi guru…
    Sebab jika tidak, akan agak mengherankan krn beliau menulis seperti di atas. Tapi secara general saya cukup setuju… (Walaupun data2 yg dibeberkan tidak terkesan valid krn ketiadaan catatan sumber)…

Leave a comment